Uangku atau UangKU
- ggckampunginggris
- Jul 19, 2019
- 5 min read
"siapa yang merasa segala sesuatu adalah miliknya, sebenarnya ia telah mendustai dirinya sendiri, sebab segala sesuatu adalah milik Tuhan"

Hal terpenting yang harus kita pahami adalah tentang kepemilikan saudara baik material maupun kehidupan (jasmani dan roh). Dalam realitas material, kita kadang berpikir atau menggunakan uang seolah-olah 90 persen milik kita dan 10 persen milik Tuhan (perpuluhan). Kita menganggap bahwa kita bebas menggunakan yang 90 persen sesuka hati kita. Allah hanya menuntut dan mengurusi yang 10 persen. Konsep ini jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Semua yang kita miliki berasal dari Tuhan (Ulangan 8:17-18; 1 Tawarikh 29:14,16) dan tetap menjadi milik Tuhan (1 Tawarikh 29:11,16). Konsep selanjutnya yang perlu kita pahami adalah fungsi utama materi yang kita miliki. Sama seperti semua hal yang lain, kekayaan juga dari, oleh, dan untuk Allah (Roma 11:36). Segala sesuatu harus melayani Tuhan (Mazmur 119:91). Kita harus memuliakan Tuhan dengan harta kita (Amsal 3:9).
Dari dua konsep di atas kita belajar bahwa kita hanyalah pengurus atau penatalayan. Di satu sisi, Allah memang memberikan ruang bagi kita untuk menikmati apa yang kita miliki selama kita menyadari bahwa hal itu adalah kesenangan dari Allah (Pengkhotbah 3:13). Artinya, kita tetap melihat kenikmatan itu sebagai milik Tuhan yang diberikan kepada kita untuk dinikmati. Yesus pun beberapa kali menghadiri pesta (Matius 26:6-13; Markus 14:3-9; Lukas 15:1-3; Yohanes 2:1-11). Pendek kata, kesenangan yang kita nikmati harus berupa ucapan syukur atas kebaikan Tuhan di dalam hidup kita.
Di sisi lain, kita harus memikirkan uang kita untuk memuliakan Allah. Memuliakan Allah di sini bukan sekadar memberikan perpuluhan (Maleakhi 3:10; Matius 23:23) dan persembahan khusus lainnya untuk mendukung pelayanan (Lukas 8:1-3), tetapi bagaimana kita mengaitkan semua yang kita miliki dengan Allah. Kita harus ingat bahwa memiliki kekayaan bukanlah tujuan, tetapi sarana. Abraham diberkati supaya ia memberkati orang lain (Kejadian 12:1-3). Yusuf diberi jabatan dan kekayaan supaya ia dipakai Tuhan memelihara hidup banyak orang (Kejadian 45:5,7).
Kalau memang kekayaan adalah berkat Tuhan dan bukan hasil usaha kita (Amsal 10:22) serta kita diberi kekayaan yang melebihi orang lain, bukankah seharusnya kita perlu bertanya, "Apa maksud Tuhan memberkati aku secara berlebihan?" Dalam setiap pengeluaran kita, bahkan yang paling kecil sekalipun, kita harus mulai belajar untuk bertanya, "Apa hubungan hal ini dengan Allah?", "Apakah ini akan memuliakan Allah?", "Haruskah aku memakai uang untuk keperluan ini atau hal yang lain yang mungkin lebih memuliakan Tuhan?"
Sebagai seorang penatalayan kita juga harus menyadari bahwa Tuhan sering kali memakai kita untuk memelihara hidup orang lain. Yang tidak boleh kita lupakan adalah orang tua atau keluarga kita. Beberapa orang Kristen sangat loyal terhadap pekerjaan Tuhan maupun sesama orang Kristen, tetapi mereka justru melupakan orang tua. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh orang Farisi dan mereka sudah dikecam oleh Yesus (Matius 15:4-6). Paulus mengajarkan bahwa tanggung jawab utama terhadap janda-janda miskin seharusnya terletak anak atau cucu mereka yang sudah beriman, setelah itu baru gereja (1 Timotius 5:4). Mereka yang tidak mau memerhatikan keluarga bahkan disamakan dengan orang murtad dan lebih buruk daripada orang yang tidak percaya (1 Timotius 5:8).
Selain orang tua (dan keluarga), kita juga perlu mengutamakan mereka yang tidak memiliki sandaran hidup. Di dalam Alkitab Tuhan memberikan perhatian khusus kepada orang miskin, para janda dan anak yatim piatu, karena mereka hanya mengandalkan kemurahhatian Tuhan melalui orang lain (Keluaran 22:22,24; Ulangan 10:18; 14:29; 16:11,14). Khusus dalam konteks tubuh Kristus, kita harus memerhatikan prinsip keseimbangan: yang kuat menanggung yang lemah (2 Korintus 8:13-14). Kita perlu mengutamakan saudara seiman daripada orang luar (Galatia 6:10). Bagaimana dengan keluarga Kristen yang miskin? Apakah mereka tetap harus belajar memberi? Jawabannya adalah "iya". Kemiskinan kita bukanlah halangan untuk bermurah hati terhadap orang lain. Memberi adalah suatu karunia dan tidak hanya dikhususkan bagi orang kaya (Lukas 21:1-4; 2 Korintus 8:1-9). Semua harus berprinsip bahwa "terlebih berkat memberi daripada menerima" (Kisah Para Rasul 20:35). Kalau kita merasa selalu tidak cukup, kita harus belajar mencukupkan diri (Filipi 4:11) melalui kekuatan Tuhan (Filipi 4:13), sehingga kita bisa belajar memberi untuk orang lain. Sikap ini memang tidak mudah dan membutuhkan proses, tetapi paling tidak kita harus mulai mengarah ke sana sampai kita bisa berkata "asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu." (1 Timotius 6:8).

Aplikasi Praktis
Berdasarkan pemahaman teologis di atas, kita perlu mengatur ulang dan merencanakan pengeluaran kita sebaik-baiknya. Berikut ini adalah beberapa hal praktis yang perlu kita atur.
Alokasi keuangan secara baik. Pedoman yang paling sederhana dan bisa diaplikasikan oleh banyak orang adalah seluruh penghasilan kita dipotong 10 persen untuk perpuluhan (Maleakhi 3:10; Matius 23:23). Berikan ucapan syukurmu yang kita kenal dengan tanda kasih kita kepada Tuhan sesuai dengan imanmu (persentasinya terserah kepada keputusan keluargamu), kalau boleh sisihkan 10 persen untuk disimpan. Setelah itu kita bisa menggunakan yang sisa untuk kehidupan kita sehari-hari dan untuk berbagi dengan sesama. Persentasi ini sifatnya tidak mengikat (kecuali perpuluhan karena itu adalah milik Tuhan, kita hanya mengembalikannya kepada Tuhan). Bagaimanapun, kita harus terus belajar agar semakin hari semakin tidak egois.
Tuliskan dan evaluasi ulang semua pengeluaran yang ada. Apakah ada pengeluaran yang bisa ditiadakan, dihemat, dan dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat?
Buatlah perencanaan keuangan untuk beberapa tahun ke depan (target) yang menurut kita paling ideal dari banyak sisi (Alkitab, keharmonisan keluarga maupun prinsip humanitas).
Pikirkan cara tertentu untuk meningkatkan penghasilan tanpa mengorbankan waktu bersama keluarga, pengawasan terhadap anak maupun waktu untuk Tuhan.
Berdoalah bersama pasangan untuk kelemahan kita yang khusus di bidang keuangan, misalnya terlalu khawatir, terlalu mengingini milik orang lain, terlalu konsumtif, boros, pelit, dsb..
Sebanyak apa pun uang yang kita miliki, jika kita tidak mengelolanya dengan baik, pasti akan cepat habis. Begitu juga sekecil apa pun uang yang kita miliki, jika kita tidak mengelolanya dengan baik, maka akan cepat habis juga. Kedua hal tersebut sama-sama membutuhkan sentuhan terampil dari si pemilik uang.

Salah satu sumber pertikaian dalam rumah tangga adalah uang. Kurang uang kita bertengkar; kelebihan uang kita pun bertengkar. Bagaimanakah caranya mengatur masalah keuangan sehingga tidak harus menjadi penyebab perselisihan?
Kita harus menyamakan persepsi terhadap uang dan sudah tentu kita harus kembali kepada Firman Tuhan. Amsal 11:24, "Ada yang menyebar harta tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa namun selalu berkekurangan." Kesimpulannya adalah bahwa Tuhan adalah pemberi berkat dan bahwa usaha manusia terbatas dan tidak menentukan pemasukannya. Jadi, kita harus selalu menyadari keterbatasan diri dan bergantung pada Tuhan, bukan pada kekuatan sendiri.
Kendati berkat berasal dari Tuhan, kita diminta untuk hidup rajin dan tidak malas. Firman Tuhan mengingatkan, "Janganlah menyukai tidur supaya engkau tidak jatuh miskin; bukalah matamu dan engkau akan makan sampai kenyang." (Amsal 20:13) Dengan kata lain, kemalasan adalah jalan tercepat menuju kepada kemiskinan.
Uang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga sendiri sebelum digunakan untuk kepentingan orang lain. Firman Tuhan mengingatkan, "Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman" (1 Timotius 5:8).
Setelah memenuhi kebutuhan pokok keluarga, kita harus memikirkan kebutuhan sesama. Tuhan menjanjikan berkat bagi orang yang murah hati. Amsal 22:9 berkata, "Orang yang baik hati akan diberkati karena ia membagi rezekinya dengan si miskin."
Menyimpan uang adalah sebuah kebiasaan hidup yang bijaksana untuk mengantisipasi pengeluaran tak terduga dan merupakan tanda hidup berdisiplin. Itu sebabnya, firman Tuhan mengajak kita untuk belajar dari "semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas." (Amsal 30:25)
Setelah menyisihkan uang untuk pengeluaran tak terduga, hiduplah sebagai orang beriman, bukan seperti orang tak beriman. Jangan sampai kita menumpukkan harta demi berjaga-jaga seakan-akan tidak ada Tuhan yang memerhatikan dan memelihara kita. Firman Tuhan mengingatkan, "Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?" (Matius 6:30) Melalui perumpamaan orang yang kaya yang bodoh yang membangun lumbung yang lebih besar untuk menyimpan gandum dan barang-barangnya, Tuhan Yesus mengingatkan, "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung pada kekayaannya" (Lukas 12:15).
Singkat kata, uang adalah titipan Tuhan kepada kita untuk digunakan terutama untuk kepentingan-Nya, bukan kita. Jadi, janganlah kita menggenggamnya sebagai milik pribadi.
Pada akhirnya, Kolose 3:17 mengatakan, "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita. Kolose 3:23, "Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia."
Comments